Sepakbola Kalah, Siapa Salah?

Tulisan berikut dimuat di Koran Wawasan pada Kamis, 18 Juni 2015, adapun tulisan mentahnya seperti dibawah ini :

Sepak bola kita seperti tak pernah lepas dari segudang masalah. Setelah diterpa masalah dualisme liga, kini masalah kembali muncul. Menpora membekukan PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) sebagai induk organisasi yang menangani sepak bola, dengan alasan PSSI tak mengindahkan surat peringatan. PSSI diminta untuk untuk memerintahkan Arema Cronus dan Persebaya Surabaya untuk memenuhi permintaan Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) tapi PSSI tak meresponnya. Selain alasan tersebut, pemerintah melalui Menpora menginginkan agar sepakbola Indonesia bisa berprestasi (Kompas.com).

            Alasan Menpora untuk membekukan PSSI memang cukup logis, mengingat sepak bola kita seperti sudah akrab dengan kekalahan demi kekalahan. Pada Sea Games kali ini, di pertandingan pertama timnas Indonesia U23 dilumat Timnas Myanmar U23 4-2. Sempat muncul harapan bahwa timnas akan melaju ke final dengan mudah ketika ada perbaikan pada pertandingan selanjutnya, mengalahkan Kamboja 6-1, mengalahkan Philipina 2-0, bahkan mengalahkan tuan rumah Singapura 1-0 melalui gol cantik Evan Dimas.  Tapi lagi-lagi harapan itu kembali pupus setelah dihancurkan Thailand 5-0.

            Maka wajar ketika Presiden Jokowi ditanya wartawan memberikan statement bahwa "Apakah kita hanya ingin ikut event internasional atau ingin prestasi? Kalau hanya ingin event internasional tapi selalu kalah, kebanggaan kita dimana? Saya mau tanya”. Kekalahan memang tidak enak dan sangat menyesakkan. Setiap orang di dunia pasti menginginkan prestasi. Karena hidup butuh prestasi bukan sekedar menunggu mati. Kita tidak memungkiri bahwa tim sepak bola kita pernah berprestasi, yakni timnas U19 yang menjuarai piala AFF. Namun, prestasi itu tidak sebanding dengan banyaknya jumlah kekalahan yang terus dialami. Bahkan, timnas U19 gagal di piala Asia.

            Semua pihak perlu melakukan introspeksi terkait wajah sepak bola kita. Ironis rasanya jika negeri sebesar ini bisa dikalahkan oleh Myanmar. Perbaikan dan pembenahan perlu dilakukan jika tidak ingin terus tertinggal oleh negara asia tenggara lainnya. Kita perlu belajar dari Myanmar, setelah mereka dikalahkan oleh negara kita beberapa tahun silam mereka terus melakukan pembenahan. Hasilnya bisa kita lihat sekarang ini, timnas junior mereka lolos ke piala dunia U20 di Selandia Baru. Dan timnas U23 mereka sukses melaju ke final.

            Untuk meraih prestasi memanglah bukan hal yang mudah, diperlukan kerja keras, mimpi dan target yang jelas. Jepang dahulu bermimpi ingin masuk ke Piala Dunia, mereka pun melukis mimpi mereka dengan membuat karakter Kapten Tsubasa yang dibuat pada tahun 1982. Akhirnya pada tahun 2002 Jepang sukses masuk ke Piala Dunia sekaligus dengan menjadi Tuan Rumah. Begitu pula dengan Barcelona yang banyak meraih sederet prestasi bukanlah dibentuk dengan cara yang instan dan cepat, melainkan mereka dididik dengan baik di akademi La Masia.

            Kiranya kita tidak perlu mencari kambing hitam atas siapa yang patut disalahkan atas kekalahan sepak bola kita. Namun mari kita duduk bersama mencari titik terang menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Kekalahan selayaknya bisa menjadi cermin agar ke depannya bisa lebih baik. Karena keledai tidak akan jatuh ke dalam lubang yang sama.

Pembinaan usia dini juga perlu digeliatkan, bila perlu pemerintah harus berani mengambil langkah strategis dengan menggratiskan Sekolah Sepak Bola (SSB) dan menambah jumlah SSB. Sehingga bibit – bibit muda yang berada di pelosok penjuru Indonesia bisa menikmati pendidikan di SSB. Selain itu, para pelatih sepakbola perlu menambah ilmu mereka dengan terus mengikuti diklat-diklat pelatihan. Bagi suporter, mereka harus bersikap dewasa bisa menerima kekalahan dan menghindari anarkis. Akhirnya, jika tidak mau mendukung disaat kalah, maka jangan mendukung disaat menang. Maju terus timnas Indonesia, jaya Garuda, jaya Indonesia.